
Komunitas Literasi di tengah keterbatasan akses pendidikan dan infrastruktur, semangat literasi tetap tumbuh berkat inisiatif masyarakat. Salah satu contohnya datang dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana sebuah komunitas lokal bernama Sumba Reading Club (SRC) menggagas program perpustakaan keliling untuk mendekatkan buku dengan anak-anak desa.
Komunitas yang berdiri sejak 2018 ini awalnya hanya berupa kelompok diskusi kecil antara guru dan relawan pendidikan. Namun, melihat rendahnya tingkat minat baca di kalangan anak-anak dan minimnya fasilitas buku bacaan yang layak, mereka memutuskan turun langsung ke desa-desa terpencil dengan membawa buku menggunakan sepeda motor, gerobak, hingga kuda—alat transportasi yang masih banyak digunakan di wilayah tersebut.
“Kami tidak bisa menunggu buku datang ke Sumba, jadi kami bawa sendiri ke anak-anak,” ujar Agustinus Lado, pendiri komunitas, yang juga seorang guru honorer. Melalui program ini, SRC telah menjangkau lebih dari 40 desa di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, dengan kunjungan rutin sepekan sekali ke masing-masing titik.
Komunitas Literasi menggerakkan perpustakaan keliling sebagai bentuk nyata literasi berbasis masyarakat dengan warga lokal yang aktif berperan. Gerakan ini menjangkau banyak desa di mana anak-anak hampir belum pernah menyentuh buku cerita selain buku pelajaran sekolah. Perpustakaan keliling menghadirkan warna baru melalui kisah petualangan, dongeng nusantara, dan pengetahuan umum yang membuka wawasan mereka. Inisiatif ini membantu membentuk budaya baca yang hidup dan berkelanjutan di wilayah terpencil.
Komunitas Literasi: Mengatasi Tantangan Infrastruktur Dengan Kreativitas Lokal Sumba dikenal sebagai salah satu daerah dengan tingkat infrastruktur pendidikan yang tertinggal dibanding wilayah barat Indonesia. Menurut data Dinas Pendidikan NTT, hanya 23% sekolah dasar di Sumba yang memiliki perpustakaan fungsional, dan itupun seringkali terbatas isinya. Akses internet pun masih belum merata, sehingga pendekatan digital sulit diterapkan secara luas.
Di tengah situasi ini, komunitas seperti SRC memanfaatkan modal sosial dan budaya lokal sebagai kekuatan. Mereka mengandalkan jaringan relawan tersebar di berbagai kampung, dengan dukungan tokoh adat dan guru setempat fasilitasi baca. Buku dibawa dalam tas besar atau peti kayu, lalu dibuka di halaman rumah atau di bawah pohon besar.
Selain itu, mereka juga menggandeng berbagai pihak untuk mendukung logistik dan pengadaan buku, mulai dari donatur individu, pegiat literasi nasional, hingga lembaga swadaya masyarakat. Salah satu mitra yang aktif terlibat adalah Yayasan Buku untuk Sumba, yang secara berkala mengirimkan sumbangan buku bacaan anak dan pelatihan literasi bagi relawan.
Kreativitas lokal juga terlihat dari penggunaan kuda sebagai alat angkut buku di wilayah perbukitan. Selain fungsional, cara ini juga membangun kedekatan emosional dengan masyarakat setempat yang sangat menjunjung tinggi nilai tradisi. Anak-anak pun menyambut perpustakaan keliling dengan antusias, sering menunggu di pinggir jalan sambil menyanyikan lagu-lagu penyambut.
Membangun Kebiasaan Membaca Sejak Dini perpustakaan keliling di Sumba tidak hanya soal mendistribusikan buku, tetapi juga menanamkan kebiasaan membaca melalui pendekatan yang menyenangkan. Dalam setiap kunjungan, para relawan tidak hanya membagikan buku, tetapi juga mengadakan kegiatan membaca bersama, mendongeng, dan menulis kreatif.
“Banyak anak yang belum lancar membaca. Kami bantu dengan membaca keras-keras, lalu mereka menirukan,” kata Maria Latu, salah satu relawan muda yang juga mahasiswa pendidikan. Kegiatan seperti ini tidak hanya meningkatkan kemampuan literasi dasar, tapi juga melatih keberanian anak untuk berbicara dan mengekspresikan diri.
Di beberapa lokasi, program juga dikembangkan menjadi klub baca desa yang melibatkan orang tua dan remaja. Pendekatan ini bertujuan menciptakan ekosistem literasi, bukan hanya kegiatan temporer. Dalam jangka panjang, komunitas berharap kebiasaan membaca akan menjadi bagian dari keseharian, bukan sekadar kegiatan hiburan musiman.
Dampaknya pun mulai terlihat. Guru-guru di desa melaporkan bahwa anak-anak yang rutin mengikuti kegiatan perpustakaan keliling menunjukkan peningkatan minat belajar dan keberanian bertanya di kelas. Bahkan ada beberapa anak yang mulai menulis cerita sendiri dan membacakannya kepada teman-temannya saat sesi komunitas.
Upaya ini juga turut mengangkat martabat relawan lokal, yang sering kali hanya dianggap “biasa” oleh masyarakatnya. Kini, mereka menjadi agen perubahan yang disegani, membawa misi mencerdaskan bangsa hingga pelosok, dengan semangat gotong royong yang tulus.
Dukungan Lebih Luas Dan Harapan Keberlanjutan meski program perpustakaan keliling di Sumba menunjukkan hasil positif, tantangan keberlanjutan tetap menjadi perhatian. Ketersediaan buku bacaan yang sesuai usia, dana operasional untuk transportasi, dan regenerasi relawan menjadi isu penting yang harus diatasi bersama.
Pemerintah daerah mulai melirik potensi komunitas literasi ini sebagai mitra strategis. Pada tahun 2024, Dinas Perpustakaan Kabupaten Sumba Barat Daya menjalin kerja sama dengan tiga komunitas lokal untuk mendistribusikan bantuan buku dan pelatihan pengelolaan perpustakaan desa. Meski jumlahnya belum besar, ini adalah langkah awal yang menjanjikan untuk membangun sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil.
Selain itu, sejumlah inisiatif digital juga mulai dikembangkan. Misalnya, aplikasi mobile sederhana untuk pendataan koleksi buku dan pelaporan kegiatan sudah mulai diujicoba. Dengan pendampingan teknologi, para relawan bisa lebih mudah melacak buku, membaca minat bacaan anak, dan membuat laporan ke donor secara transparan.
Dukungan dari masyarakat luas juga terus diharapkan. Melalui kampanye di media sosial, SRC berhasil menarik perhatian banyak orang untuk menyumbangkan buku bacaan anak-anak yang layak. Gerakan ini pun menyebar ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, di mana komunitas diaspora NTT turut mengorganisir pengumpulan dan pengiriman buku ke Sumba.
Dalam jangka panjang, komunitas berharap dapat membangun perpustakaan tetap di beberapa titik strategis, sebagai pusat belajar yang bisa diakses setiap saat. Namun bagi mereka, inti dari gerakan ini bukanlah bangunan, melainkan semangat berbagi ilmu. Seperti kata Agustinus Lado, “Yang kami bangun bukan hanya perpustakaan, tapi harapan.”
Ketika Buku Menyapa Anak Di Ujung Timur Indonesia perpustakaan keliling di Sumba adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari bawah. Dalam lanskap pendidikan yang sering kali timpang, komunitas literasi hadir sebagai jembatan antara keterbatasan dan impian. Mereka tidak menunggu solusi dari atas, tetapi menciptakannya sendiri—dengan sepenuh hati dan semangat kebersamaan.
Gerakan ini juga mengingatkan kita semua bahwa membaca adalah hak setiap anak, di mana pun ia berada. Ketika anak-anak Sumba menyambut buku dengan sorot mata penuh semangat, kita disadarkan kembali bahwa literasi bukan soal jumlah kata, tetapi tentang kesempatan untuk tumbuh dan bermimpi lebih tinggi.
Kini, yang dibutuhkan adalah dukungan luas agar gerakan seperti ini tak hanya bertahan, tapi terus berkembang. Di balik setiap buku yang dibawa perpustakaan keliling, tersimpan harapan besar mencetak generasi pembaca yang cerdas, kreatif, dan peduli. Semangat dan keberhasilan gerakan ini sangat bergantung pada peran serta aktif dari Komunitas Literasi.