
Kontroversi Pengawasan Digital menjadi sorotan karena dianggap strategi penting menghadapi kejahatan lintas batas di ranah digital. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kepolisian RI, telah meningkatkan sistem intelijen siber, termasuk dengan menggunakan teknologi pemantauan berbasis AI. Teknologi ini mampu menganalisis jutaan interaksi digital untuk mendeteksi pola-pola mencurigakan. Walaupun secara teknis sangat bermanfaat, hal ini memunculkan risiko besar ketika digunakan tanpa pengawasan ketat.
Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebutkan bahwa sepanjang 2023, terdapat lebih dari 100 laporan aduan terhadap penyalahgunaan kewenangan dalam pengawasan digital, termasuk doxing oleh aparat. Hal ini menandakan bahwa terdapat celah besar dalam sistem akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan pengawasan. Dalam beberapa kasus, bahkan ada dugaan bahwa pengawasan dilakukan tanpa surat perintah pengadilan, yang bertentangan dengan prinsip due process of law.
Kritik juga datang dari akademisi dan praktisi hukum yang menilai bahwa pemerintah terlalu longgar dalam mendefinisikan “ancaman nasional”, sehingga bisa saja kritik terhadap kebijakan publik dikategorikan sebagai ancaman. Hal ini menempatkan pengawasan digital sebagai instrumen represi, bukan perlindungan. Misalnya, laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2024 menunjukkan peningkatan kasus intimidasi terhadap jurnalis daring yang melakukan investigasi terhadap isu-isu sensitif.
Namun, di sisi lain, keamanan digital memang penting. Data dari INTERPOL menunjukkan peningkatan 70% kasus kejahatan siber di Asia Tenggara pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya. Ini termasuk penipuan daring, penyebaran malware, dan penyalahgunaan identitas digital. Dalam konteks ini, negara memang memerlukan kemampuan respons yang cepat dan efektif.
Kontroversi Pengawasan Digital perlu diletakkan dalam konteks demokratis yang menjunjung hak privasi dan kebebasan individu. Pengawasan memang dapat dilakukan demi keamanan, namun harus dibatasi hukum dan diawasi oleh mekanisme akuntabilitas publik yang kuat.
Kontroversi Pengawasan Digital: Regulasi Perlindungan Data Pribadi undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan pada tahun 2022 sebagai respons atas kekosongan hukum terhadap perlindungan data warga negara. UU ini mengadopsi sejumlah prinsip dari General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa, termasuk konsep “consent”, hak untuk dilupakan (right to be forgotten), dan kewajiban pelaporan kebocoran data. Namun, hingga pertengahan 2025, penerapannya belum sepenuhnya efektif.
Salah satu tantangan besar adalah lemahnya pengawasan terhadap penyedia layanan digital, terutama yang berbasis di luar negeri. Banyak aplikasi dan platform media sosial tidak mematuhi UU PDP secara utuh, dengan alasan belum adanya badan regulator independen. Pemerintah memang tengah memproses pembentukan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP), namun proses ini terhambat oleh tarik ulur kepentingan antar lembaga.
Menurut riset dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, hanya 41% perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia memiliki kebijakan privasi yang sesuai dengan UU PDP. Selain itu, hanya 29% dari mereka yang memiliki petugas perlindungan data (Data Protection Officer/DPO), padahal hal ini diwajibkan oleh undang-undang.
Dari sisi masyarakat, masih banyak yang belum menyadari pentingnya perlindungan data pribadi. Studi Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2024 menunjukkan bahwa 63% pengguna internet di Indonesia pernah membagikan data pribadi mereka tanpa mengetahui bagaimana data itu digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa literasi digital juga menjadi tantangan dalam implementasi UU PDP.
Tanpa pengawasan yang kuat dan kesadaran masyarakat yang memadai, UU PDP berisiko menjadi regulasi tanpa gigi. Oleh karena itu, perlu percepatan pembentukan OPDP, peningkatan kapasitas penyelenggara sistem elektronik, serta edukasi publik yang lebih masif.
Perlindungan Anak Di Ruang Digital peraturam Pemerintah 17/2025 memang menunjukkan niat baik pemerintah dalam mengatasi risiko paparan konten negatif kepada anak-anak di ruang digital. Namun kebijakan ini juga menuai perdebatan karena adanya ketentuan yang memungkinkan pemerintah mewajibkan platform media sosial menerapkan sistem verifikasi usia berbasis identitas resmi. Hal ini dinilai terlalu intrusif, terutama karena menyangkut data sensitif milik anak-anak.
Menurut laporan dari UNICEF Indonesia, 1 dari 3 pengguna internet di Indonesia adalah anak-anak dan remaja. Mayoritas dari mereka mengakses internet melalui perangkat mobile tanpa pengawasan orang tua. Laporan itu juga menyebutkan bahwa 45% anak pernah menerima pesan atau konten yang tidak pantas, namun hanya 19% yang melaporkannya. Ini menegaskan pentingnya pendekatan berbasis literasi dan pemberdayaan, bukan semata-mata pembatasan akses.
Wacana untuk memblokir akses anak-anak ke media sosial tertentu juga dinilai berlebihan oleh sebagian pakar. Beberapa negara seperti Australia memang sudah menerapkan pembatasan usia, namun dilakukan dengan pendekatan persuasif dan edukatif, bukan lewat pemaksaan identitas digital. Jika kebijakan ini diterapkan secara represif, dikhawatirkan akan meningkatkan praktik pemalsuan data atau penggunaan akun orang tua.
Isu lainnya adalah soal potensi penyalahgunaan data anak. Jika verifikasi usia menggunakan data kependudukan, maka sistem harus menjamin keamanan data tersebut. Indonesia memiliki sejarah panjang kebocoran data, termasuk insiden kebocoran 279 juta data penduduk yang pernah terjadi dari BPJS Kesehatan pada 2021. Hal ini membuat masyarakat was-was terhadap sentralisasi data anak.
Solusi ideal adalah pendekatan kolaboratif: pemerintah bekerja sama dengan platform digital, sekolah, dan komunitas untuk menciptakan lingkungan daring yang aman dan mendidik. Alih-alih melarang, strategi terbaik adalah mendampingi anak-anak agar melek digital dan tahu bagaimana melindungi diri mereka secara mandiri.
Membangun Masa Depan Digital Yang Seimbang Indonesia menghadapi momen krusial dalam menentukan arah masa depan digitalnya. Jika tidak dikelola dengan prinsip hak asasi manusia, era transformasi digital justru bisa menjadi era baru represi. Oleh karena itu, sejumlah langkah perlu diambil secara strategis untuk mencapai keseimbangan antara keamanan dan hak privasi.
Pertama, perlu ada audit menyeluruh terhadap seluruh bentuk pengawasan digital oleh negara. Audit ini sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen dan melibatkan masyarakat sipil agar dapat dipertanggungjawabkan secara transparan. Tujuannya adalah memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan alat pengawasan terhadap kelompok yang rentan seperti jurnalis, aktivis, atau oposisi politik.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat kerangka perlindungan data pribadi tidak hanya di sektor publik, tetapi juga sektor swasta. Banyak platform lokal belum memiliki sistem keamanan yang andal untuk melindungi data pengguna. Pemerintah dapat mendorong sertifikasi keamanan siber sebagai standar operasional minimum bagi penyedia layanan digital.
Ketiga, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama membangun budaya sadar privasi. Kampanye publik, pelatihan guru, dan kurikulum sekolah tentang keamanan digital menjadi penting. Tidak cukup hanya menulis undang-undang, tetapi juga membangun kesadaran kolektif bahwa privasi adalah bagian dari martabat manusia.
Keempat, dalam membuat regulasi, pemerintah harus membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya. UU PDP, PP perlindungan anak, atau bahkan kebijakan sensor konten, harus dikembangkan melalui konsultasi dengan akademisi, komunitas digital, jurnalis, dan kelompok masyarakat lainnya. Ini akan menghasilkan kebijakan yang lebih legitim dan minim resistensi.