

Kurban Di Pelosok di tengah gegap gempita Idul Adha di kota-kota besar, semangat berkurban di pelosok tanah air tak kalah menyentuh. Meski keterbatasan ekonomi dan akses menjadi tantangan utama, masyarakat di daerah terpencil tetap menyalakan harapan melalui ibadah kurban. Seekor kambing yang sederhana di mata sebagian orang, bisa menjadi simbol persatuan, kebahagiaan, bahkan harapan bagi satu desa.
Kisah perjuangan masyarakat di daerah terpencil untuk melaksanakan ibadah kurban seringkali luput dari perhatian publik. Di desa-desa pedalaman Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua, banyak masyarakat yang hanya mampu menyaksikan hewan kurban lewat televisi atau cerita dari sanak saudara yang merantau ke kota.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sekitar 12,5% desa di Indonesia masih tergolong daerah sangat terpencil, dengan akses terbatas terhadap infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan pasar. Di banyak wilayah ini, pendapatan per kapita warga jauh di bawah rata-rata nasional. Akibatnya, kepemilikan hewan ternak pun lebih diarahkan untuk kebutuhan hidup harian, bukan untuk kurban.
Namun, semangat untuk ikut berkurban tak lantas padam. Di Desa Lereh, Kabupaten Jayapura, Papua, misalnya, masyarakat secara kolektif iuran selama satu tahun hanya untuk membeli seekor kambing. Nilainya tak seberapa jika dibandingkan dengan satu ekor sapi di kota, tapi semangat dan nilai kebersamaannya sungguh luar biasa.
Kurban Di Pelosok tokoh masyarakat setempat, Yanto Waromi, mengatakan, “Kami tidak melihat besar kecilnya hewan kurban, tapi seberapa ikhlas dan semangat kami untuk berbagi. Seekor kambing bisa memberi makan puluhan warga di hari raya, itu cukup membuat semua bahagia.” Pernyataan ini mencerminkan betapa nilai kebersamaan dan rasa syukur jauh lebih bermakna dibanding jumlah atau ukuran kurban yang diberikan.
Kurban Di Pelosok: Peran Lembaga Sosial Dan Relawan meningkatnya kesadaran masyarakat urban terhadap pemerataan distribusi hewan kurban telah membuka jalan bagi tumbuhnya solidaritas lintas wilayah. Kesadaran ini muncul seiring meningkatnya literasi sosial dan keinginan kuat untuk menghapus ketimpangan akses pangan saat hari raya. Banyak lembaga sosial dan yayasan kemanusiaan kini berfokus pada penyaluran kurban ke daerah-daerah terpencil yang sebelumnya tidak pernah menikmati daging kurban.
Salah satu lembaga yang aktif adalah Dompet Dhuafa. Pada Idul Adha 2023, mereka mencatatkan penyaluran lebih dari 28.000 hewan kurban ke 1.500 titik terpencil di Indonesia. Wilayah sasaran meliputi pelosok Sumatra Barat, pedalaman Kalimantan Tengah, hingga pesisir Nusa Tenggara Timur. Angka penyaluran ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya, menandakan keberhasilan strategi distribusi dan pelibatan masyarakat lokal.
Menurut Direktur Program Dompet Dhuafa, Andriansyah, pendekatan yang dilakukan tak hanya sebatas pengiriman hewan. “Kami melibatkan peternak lokal agar ekonomi warga ikut bergerak. Selain itu, relawan kami tinggal bersama warga beberapa hari untuk membangun kedekatan, bukan sekadar datang lalu pergi,” ujarnya. Model ini tidak hanya menyalurkan bantuan, tetapi juga menanamkan nilai keberlanjutan sosial dan ekonomi pada masyarakat penerima manfaat.
Kehadiran relawan juga menjadi momen edukatif, mengenalkan tata cara penyembelihan sesuai syariat, dan berbagi kisah inspiratif dari luar daerah. Efek domino dari kegiatan ini tidak hanya berhenti pada hari raya, tapi juga memupuk semangat gotong royong dan pemberdayaan warga setempat. Kegiatan ini juga mempererat jembatan empati antara masyarakat kota dan desa, menciptakan hubungan sosial yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Makna Seekor Kambing Bagi Satu Komunitas bagi masyarakat di kota besar, daging kurban bisa jadi bukan barang langka. Namun, bagi warga di pedalaman seperti di Dusun Lonto Leok, Kabupaten Manggarai, NTT, daging kurban adalah sajian langka yang mungkin hanya hadir sekali dalam setahun. Ketimpangan akses pangan seperti ini mencerminkan kesenjangan kesejahteraan yang masih nyata antara masyarakat perkotaan dan pedalaman di Indonesia.
Di dusun tersebut, seekor kambing yang disumbangkan oleh donatur dari Jakarta menjadi pusat kebahagiaan warga. Dagingnya dibagikan secara merata kepada 60 kepala keluarga. Uniknya, warga setempat lebih memilih untuk memasak daging bersama dan mengadakan syukuran bersama alih-alih dibawa pulang sendiri-sendiri. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial di tengah masyarakat, menciptakan momen kebersamaan yang melampaui sekadar konsumsi daging kurban semata.
Kepala Dusun Lonto Leok, Fransiskus Bagut, menyatakan bahwa kurban bukan hanya soal daging. “Ini tentang rasa dihargai. Ketika ada yang peduli mengirimkan kurban ke tempat kami, kami merasa bagian dari Indonesia, tidak dilupakan,” tuturnya haru. Pernyataan ini menunjukkan bahwa kurban memiliki makna simbolik yang mendalam sebagai bentuk pengakuan eksistensi komunitas terpencil oleh masyarakat luas.
Sebuah studi oleh Lembaga Zakat Indonesia (Lazisnu) tahun 2022 menemukan bahwa 74% penerima kurban di wilayah tertinggal merasa “lebih dihargai dan diperhatikan” saat menerima distribusi kurban dari luar daerah. Artinya, dampak psikososial dari kurban juga sangat signifikan dan patut menjadi perhatian. Ia bukan hanya memberi gizi, tetapi juga memperkuat harga diri penerima yang merasa dilibatkan dalam solidaritas nasional yang nyata.
Kurban Sebagai Pintu Pemberdayaan Berkelanjutan selain sebagai ibadah tahunan, momentum kurban di daerah terpencil mulai diarahkan untuk program jangka panjang. Konsep “Qurban Berdaya” menjadi strategi baru bagi beberapa lembaga zakat dan CSR perusahaan dalam menciptakan efek berkelanjutan dari momen Idul Adha.
Program ini, misalnya, melibatkan masyarakat sebagai peternak hewan kurban sejak enam bulan hingga satu tahun sebelum Idul Adha. Hewan yang diternakkan kemudian dibeli kembali oleh lembaga sebagai kurban. Skema ini tidak hanya meningkatkan pendapatan warga, tapi juga memperkuat keterampilan mereka dalam bidang peternakan.
Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, program serupa berhasil meningkatkan penghasilan 50 peternak lokal hingga 45% dibanding tahun sebelumnya. Mereka mendapat pelatihan, bantuan pakan, serta pasar yang terjamin. Keberhasilan ini menunjukkan bagaimana dukungan terstruktur dapat menguatkan ekonomi lokal sekaligus memperkuat ketahanan pangan komunitas.
Yayasan Rumah Wakaf yang menjalankan program ini menjelaskan bahwa keberlanjutan menjadi kata kunci. “Kami ingin kurban tidak berhenti di penyembelihan, tapi jadi titik awal perubahan ekonomi lokal,” jelas direktur program, Wawan Rukmana.
Pemerintah pun mulai memberikan perhatian lebih. Kementerian Pertanian pada 2024 mencanangkan program “Kampung Kurban Mandiri” di 10 provinsi, dengan target pembinaan 1.000 peternak kecil di desa. Harapannya, Indonesia bisa mandiri dalam penyediaan hewan kurban sekaligus mengangkat ekonomi petani dan peternak di pelosok.
Idul Adha bukan hanya tentang penyembelihan hewan, tapi juga tentang pengorbanan, kebersamaan, dan harapan. Di daerah terpencil, seekor kambing bukan sekadar daging — ia adalah simbol dari kehadiran, perhatian, dan kepedulian yang datang dari jauh. Di balik setiap potong daging, terselip doa dan kasih yang menjembatani jarak antara kota dan pelosok dengan cinta yang tulus.
Melalui tangan-tangan dermawan, jejak para relawan, dan doa yang melangit dari penjuru negeri, cahaya Idul Adha terus menyinari penjuru negeri—hingga senyum satu dusun jadi gema haru dalam Kurban Di Pelosok.