
Tren Travelling, kesadaran akan perubahan iklim membuat jejak karbon menjadi salah satu indikator penting dalam pilihan perjalanan wisatawan. Data GWI menunjukkan minat terhadap wisata rendah emisi naik 14 persen pada Q3 2022 dibanding periode sebelumnya. Lonjakan tersebut menandakan tren sustainability tourism kembali diminati setelah pandemi, menjadi fokus dalam industri pariwisata global saat ini. Wisatawan modern, terutama Gen Z dan milenial, kini lebih peduli pada proses perjalanan dan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Bukan hanya tujuan indah yang dicari, tapi juga pengalaman perjalanan yang berkelanjutan serta ramah lingkungan bagi komunitas lokal.
Industri pariwisata merespons tren ini dengan menghadirkan produk low-carbon travel seperti jalur hiking, tur sepeda, dan slow travel. Kereta pelan dan akomodasi hijau makin diminati karena traveler ingin kurangi dampak negatif dari aktivitas perjalanan mereka. Menurut ADA Cosmetics, transportasi rendah emisi makin populer seiring meningkatnya kesadaran wisatawan terhadap isu perubahan iklim. Permintaan ini mendorong operator pariwisata memenuhi standar dan sertifikasi hijau seperti EarthCheck atau Green Globe secara konsisten.
Pandangan tersebut juga terlihat di ranah premium, di mana eco-luxury travel tumbuh pesat. Per 2025, eco-luxury vacations yang mengedepankan kenyamanan tetap menyertakan prinsip keberlanjutan sudah menjadi pilihan banyak pelancong mapan. Tren ini menunjukkan bahwa kenyamanan dan emisi rendah sekarang bukan pilihan berlawanan, melainkan bisa diselaraskan.
Berbagai destinasi pun mulai mengadopsi kebijakan zonasi rendah karbon—seperti halnya kebijakan low-emission zone di kota besar atau reservasi prioritas untuk akomodasi berlabel hijau. Model ini mendorong traveler memilih opsi yang lebih ramah lingkungan, dan jika dikelola dengan benar, bisa menjadi insentif ekonomi untuk komunitas lokal.
Tren Travelling tanpa jejak karbon kini berkembang pesat melalui fondasi kesadaran global yang semakin tinggi serta inovasi produk dan kebijakan, Tapi apa sebenarnya dampak dan tantangan di dunia nyata? Dalam bagian berikut, kita akan menganalisis lebih dalam perubahan di sektor transportasi, akomodasi, dan pilihan perjalanan.
Tren Travelling: Transportasi Rendah Emisi sektor transportasi adalah kontributor terbesar dari emisi karbon pariwisata. Namun belakangan muncul shift signifikan ke moda rendah karbon, seperti kereta tinggi kecepatan (high‑speed rail/HRS) dan tur singkat yang menghindari penerbangan jarak pendek. Studi LCA (life cycle assessment) di Prancis memperkirakan bahwa kereta listrik emisi hanya 30–120 g CO₂eq per km penumpang—jauh lebih efisien daripada pesawat. Tren ini menggerakkan kebijakan larangan penerbangan domestik jika jarak bisa ditempuh kereta dalam waktu sekitar 2–3 jam.
Di sektor penerbangan, penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF) mulai diujicobakan. Maskapai seperti United, JetBlue, Southwest, dan lainnya telah memperkenalkan SAF secara reguler sejak 2023–2025. SAF memang masih terbatas—EU menargetkan penggunaan 6% pada 2030 dan UK 10%—tapi ini merupakan langkah awal dalam mengurangi emisi penerbangan.
Selain itu, tren “flight-shaming” makin ramai di Eropa dan Asia, mendorong traveler memilih kereta atau bus untuk jarak pendek. Di Swedia misalnya, volume penumpang domestik turun meski rute internasional meningkat—cerminan pergeseran sikap terhadap emisi penerbangan.
Teknologi juga membantu traveler sadar jejak karbon. Travalyst (inisiatif Prince Harry) memadukan data perjalanan dengan peringatan emisi CO₂ untuk tiap rute, memberikan transparansi penuh kepada pengguna. Alhasil, traveler makin mampu membandingkan emisi dari opsi transportasi sebelum memesan.
Dengan kombinasi HSR, SAF, kebijakan restriktif penerbangan singkat, dan digitalisasi informasi emisi, transportasi rendah karbon menjadi opsi nyata. Namun tersedia infrastruktur dan regulasi kuat untuk memfasilitasi perubahan ini.
Akomodasi Ramah Lingkungan Dan Lifestyle Rendah Jejak Karbon tidak hanya transportasi, akomodasi kini banyak yang memenuhi standar eco-design. Green hotels, eco-lodges, dan resor berbasis konservasi tumbuh pesat di berbagai destinasi global hingga 2025 . Banyak fasilitas mewah kini menempatkan keberlanjutan sebagai bagian promosi utama—seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah organik, dan dukungan komunitas lokal.
Di Norwegia misalnya, integrasi sistem parkir gratis dan akses jalur umum untuk wisatawan membuat mobilisasi lebih bersih, sekaligus mengurangi kemacetan di kota besar . Destinasi destinasi seperti Machu Picchu dan Bhutan bahkan mendapatkan predikat kota atau negara “100% sustainable”.
Sementara itu, di Indonesia, Kemenparekraf menetapkan target pengurangan emisi 50% di sektor pariwisata pada 2030, menuju nol emisi pada 2045. Strategi ini mencakup peta jalan karbon wisata—mengukur emisi, kebijakan green rating, dan promosi ke turis internasional.
Wisata berbasis community-driven ecosystem semakin populer, misalnya Haida Gwaii di Kanada atau Rapa Nui, yang mengombinasikan konservasi budaya bersama pelibur domestik dan global. Melalui pendekatan ini, wisatawan tidak hanya ‘jejak karbon rendah’ tetapi juga ikut memberi manfaat sosial bagi masyarakat setempat.
Namun, pilihan eco-hotel masih mahal dan terbatas, dan belum semua pelaku mendukung sertifikasi seperti EarthCheck. Untuk menjangkau pasar lebih luas, diperlukan insentif dan edukasi agar akomodasi kecil atau home stay juga menerapkan praktik berkelanjutan.
Tantangan Dan Arah Untuk Pariwisata Rendah Karbon meskipun tren makin kuat, beberapa tantangan masih harus diatasi. Studi GWI memperkirakan ada gap antara keinginan traveler dan tindakan riil: banyak yang peduli soal jejak karbon, tetapi saat dihadapkan dengan harga dan kemudahan, pilihan tetap jatuh pada transportasi kecepat tinggi dan akomodasi murah. Momentum transformasi hanya akan terjadi jika keberlanjutan bisa ditawarkan dengan nilai terbaik dan tetap terjangkau.
Dibutuhkan dukungan kebijakan, misalnya subsidi kereta versus pesawat, keringanan pajak untuk akomodasi zero-carbon, dan sistem registrasi emisi transparan layaknya Travalyst. Data ICAO menunjukkan bahwa standar telusur emisi untuk penerbangan bakal diberlakukan UK pada 2025—menunjukkan perubahan menuju konsumen dan regulator yang lebih sadar karbon.
Di luar kebijakan, peran teknologi sangat penting. TripStax dan platform lain mampu secara otomatis melacak dan melaporkan jejak karbon, menciptakan ekosistem yang lebih akuntabel dan kredibel dalam perjalanan rendah karbon . Ini juga meningkatkan kepercayaan traveler bahwa pilihan mereka benar-benar berdampak.
Edukasi publik penting lewat kampanye, sertifikasi, dan cerita agar wisatawan paham dampak tiap pilihan perjalanan mereka. Setiap kilometer dan penginapan membawa dampak nyata terhadap emisi karbon dan keberlanjutan bumi kita bersama. Pariwisata rendah karbon jadi tanggung jawab bersama antara wisatawan, penyedia layanan, dan pembuat kebijakan nasional. Low-carbon travel harus masuk agenda negara seperti target netral karbon 2060 dan transportasi ramah lingkungan. Indonesia targetkan pengurangan emisi 41 persen tahun 2030, dan pariwisata berkontribusi dalam pencapaian ambisi ini.
Travelling tanpa jejak karbon bukan sekadar tren, tetapi respons kolektif terhadap urgensi krisis iklim. Mulai dari kereta cepat, SAF, smart carbon tracking, ekowisata komunitas, hingga regulasi pintu masuk zero-emission, semua ini menyusun peta baru untuk bepergian. Tantangannya nyata—akses, harga, dan kesadaran masih terbatas—namun momentum global dan teknologi memberi harapan. Mengembalikan bumi ke generasi mendatang bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi pilihan setiap langkah traveling kita dalam Tren Travelling.