Pembatasan Usia Lowongan Kerja: Diskriminasi Yang Awet
Pembatasan Usia Lowongan Kerja: Diskriminasi Yang Awet

Pembatasan Usia Lowongan Kerja: Diskriminasi Yang Awet

Pembatasan Usia Lowongan Kerja: Diskriminasi Yang Awet

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Pembatasan Usia Lowongan Kerja: Diskriminasi Yang Awet
Pembatasan Usia Lowongan Kerja: Diskriminasi Yang Awet

Pembatasan Usia praktik diskriminatif dalam iklan lowongan kerja masih banyak ditemukan di berbagai platform rekrutmen kerja. Meski tidak eksplisit melanggar hukum di Indonesia, batasan usia sering kali dijadikan kriteria utama oleh perusahaan, terutama dalam posisi non-manajerial. Kalimat seperti “maksimal usia 35 tahun” menjadi pemandangan umum, bahkan untuk posisi yang tidak membutuhkan fisik prima atau adaptasi teknologi tinggi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pada kelompok usia 40–54 tahun sebesar 5,7%, lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 25–39 tahun sebesar 4,2%. Ini mencerminkan hambatan nyata yang dihadapi para pencari kerja berusia matang dalam mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

Laporan ILO tahun 2021 menyatakan bahwa diskriminasi usia menjadi salah satu bentuk bias yang paling tersembunyi tetapi memiliki dampak jangka panjang terhadap ketimpangan kesejahteraan. Praktik ini tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Namun, bedanya, beberapa negara seperti Inggris dan Kanada telah mengatur secara ketat larangan menyebut batas usia dalam iklan pekerjaan kecuali untuk alasan yang sangat spesifik.

Di Indonesia, menurut Forum Human Capital Indonesia (FHCI), hanya sekitar 15% perusahaan yang mengaku memiliki kebijakan perekrutan berbasis kompetensi tanpa mempertimbangkan batas usia. Angka ini menunjukkan bahwa sistem rekrutmen kita masih jauh dari inklusif.

Pembatasan Usia ini mempersempit peluang kerja dan berdampak pada aspek psikologis individu. Para pencari kerja berusia matang sering merasa rendah diri, terpinggirkan, dan bahkan mengalami stres berkepanjangan karena tekanan sosial dan ekonomi. Akibatnya, tenaga kerja potensial yang seharusnya produktif malah terabaikan.

Pembatasan Usia: Pengalaman Dan Potensi Tidak Dianggap

Pembatasan Usia: Pengalaman Dan Potensi Tidak Dianggap salah satu kontradiksi paling nyata dalam rekrutmen adalah ketika perusahaan mensyaratkan “pengalaman minimal 5–10 tahun” tetapi menetapkan usia maksimal pelamar hanya 35 tahun. Padahal, individu yang memiliki pengalaman sesuai kriteria tersebut biasanya berusia di atas 40 tahun.

Studi dari LinkedIn pada tahun 2022 menunjukkan bahwa pekerja berusia 40–55 tahun memiliki tingkat partisipasi tertinggi dalam pelatihan online, termasuk pelatihan digital marketing, manajemen proyek, dan penggunaan perangkat lunak kolaboratif. Artinya, asumsi bahwa pekerja matang sulit beradaptasi dengan teknologi tidak sepenuhnya benar.

Di sektor swasta Indonesia, sejumlah perusahaan mulai menyadari hal ini. Gojek, Tokopedia, dan beberapa startup teknologi lainnya telah membuka jalur rekrutmen untuk profesional berpengalaman tanpa batas usia. Praktik ini tidak hanya meningkatkan keberagaman dalam tim, tetapi juga memperkuat fondasi bisnis dengan memanfaatkan kebijaksanaan dan stabilitas emosional dari para senior.

Contoh lain datang dari PT Telkom Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir aktif menjalankan program mentoring lintas generasi. Dalam program ini, pegawai senior diberikan peran sebagai mentor bagi junior, sementara junior membantu memperkenalkan teknologi baru kepada senior. Hasilnya, tercipta lingkungan kerja yang kolaboratif dan produktif.

Sebuah riset Harvard Business Review (2021) menunjukkan bahwa tim multigenerasi lebih produktif dan efektif dalam menyelesaikan masalah. Tim multigenerasi memiliki produktivitas 18% lebih tinggi dan kemampuan menyelesaikan masalah 21% lebih efektif dibanding tim yang homogen dalam usia. Data ini menegaskan bahwa keberagaman usia bukan beban, melainkan kekuatan strategis dalam dunia kerja modern.

Regulasi Minim, Perlindungan Hukum Masih Lemah

Regulasi Minim, Perlindungan Hukum Masih Lemah secara hukum, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan tanpa diskriminasi. Namun, dalam praktiknya, belum ada ketentuan teknis yang secara tegas melarang perusahaan menyertakan batas usia dalam lowongan kerja. Ini menciptakan celah besar dalam perlindungan hukum bagi pencari kerja yang terdampak.

Menurut data Ombudsman Republik Indonesia tahun 2023, pengaduan diskriminasi ketenagakerjaan akibat usia hanya berjumlah 2,4% dari total pengaduan yang masuk. Rendahnya angka ini tidak berarti masalahnya kecil. Banyak pencari kerja tidak tahu harus melapor ke mana. Sebagian lainnya takut reputasinya rusak jika menyuarakan keberatannya.

Australia berbeda dengan Indonesia dalam hal regulasi ketenagakerjaan. Negara itu memiliki Age Discrimination Act sejak tahun 2004. Undang-undang ini melarang perlakuan berbeda terhadap pekerja atau pencari kerja berdasarkan usia. Pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat dikenai denda dan proses hukum. Undang-undang ini berlaku untuk semua sektor, baik publik maupun swasta, termasuk dalam proses rekrutmen, promosi, hingga pemutusan hubungan kerja. Keberadaan regulasi ini menciptakan iklim kerja yang lebih adil dan mendorong perusahaan untuk menilai karyawan berdasarkan kompetensi, bukan usia.

Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Prof. Dwi Ratmono, menyebut bahwa perlindungan terhadap pekerja berusia matang harus menjadi bagian dari agenda reformasi ketenagakerjaan nasional. Ia menyarankan agar pemerintah membentuk lembaga pengawasan khusus untuk praktik rekrutmen dan menyusun pedoman rekrutmen berbasis kompetensi, bukan demografi.

Penting pula untuk mendorong keterlibatan serikat pekerja dalam advokasi kebijakan anti-diskriminasi usia. Serikat pekerja bisa menjadi saluran aspirasi dan perlindungan bagi pencari kerja maupun karyawan aktif yang mengalami marginalisasi karena usia. Dengan kekuatan kolektifnya, serikat pekerja juga mampu menekan pemerintah dan perusahaan untuk menyusun regulasi yang lebih adil dan inklusif.

Mendorong Inklusi Dan Mengubah Paradigma Rekrutmen

Mendorong Inklusi Dan Mengubah Paradigma Rekrutmen peralihan dari berbasis usia menjadi berbasis kompetensi bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab semua pemangku kepentingan. Dunia usaha harus menyadari bahwa keberagaman usia dapat menciptakan dinamika tim yang sehat dan memperluas cakrawala inovasi.

Pemerintah dapat memulai dengan menerbitkan aturan turunan dari UU Ketenagakerjaan yang mempertegas larangan diskriminasi usia dalam proses perekrutan. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga perlu dilibatkan untuk memastikan bahwa penilaian terhadap kompetensi menjadi landasan utama, bukan faktor usia, dalam rekrutmen dan promosi kerja.

Perusahaan pun memiliki peran besar. Mereka perlu membangun budaya kerja yang menghargai lintas generasi, termasuk dengan menyusun program onboarding yang disesuaikan usia, menyediakan pelatihan digital untuk karyawan senior, dan menerapkan sistem evaluasi kinerja yang adil. Praktik rekrutmen yang transparan dan berbasis kemampuan nyata juga harus diperluas.

Menurut studi McKinsey & Company (2020), perusahaan yang menerapkan kebijakan inklusif memiliki peluang laba 25% lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Ini membuktikan bahwa inklusi usia bukan hanya isu etika, tetapi juga strategi bisnis yang menguntungkan.

Media dan masyarakat sipil juga punya andil besar. Kampanye sosial, diskusi publik, dan pemberitaan yang sensitif terhadap isu diskriminasi usia dapat meningkatkan kesadaran dan menekan praktik eksklusif di dunia kerja. Seperti dikatakan Andriana Kusuma, HR consultant di Jakarta: “Usia bukan penghalang untuk berkinerja. Karakter adaptif dan semangat belajar bisa dimiliki siapa saja, tanpa memandang umur.”

Diskriminasi usia dalam lowongan kerja adalah kenyataan pahit yang masih membayangi dunia kerja Indonesia. Perubahan regulasi, edukasi publik, dan komitmen dunia usaha, masa depan yang lebih inklusif sangat mungkin diwujudkan. Menerima pencari kerja berusia matang bukan hanya soal keadilan, tetapi juga bentuk investasi terhadap pengalaman, loyalitas, dan keberlanjutan tenaga kerja nasional yang selama ini terkendala oleh Pembatasan Usia.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait