Warga Adat Papua Jaga Hutan Dengan Kearifan Lokal
Warga Adat Papua Jaga Hutan Dengan Kearifan Lokal

Warga Adat Papua Jaga Hutan Dengan Kearifan Lokal

Warga Adat Papua Jaga Hutan Dengan Kearifan Lokal

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Warga Adat Papua Jaga Hutan Dengan Kearifan Lokal
Warga Adat Papua Jaga Hutan Dengan Kearifan Lokal

Warga Adat Papua menjadi penjaga utama hutan tropis yang luasnya puluhan juta hektare, menjadikan Papua benteng terakhir alam Indonesia. Menurut Global Forest Watch, pada rentang Mei–Juni 2025, telah tercatat 22.982 peringatan deforestasi, setara dengan 282 ha—kecil secara presentase, tetapi tetap menyita kekhawatiran terkait tren deforestasi di masa depan. Jika dibandingkan data EcosNusa, antara 2001–2019, Tanah Papua kehilangan 663.443 ha hutan, dengan puncak deforestasi pada 2015 sebanyak 89.881 ha. Angka-angka tersebut menjadi panggilan kewaspadaan.

Sementara itu, riset dari BRWA per Maret 2023 mengungkap potensi wilayah adat Papua seluas hampir 9 juta ha, namun hanya sekitar 40.000 ha yang diakui secara resmi sebagai hutan adat oleh pemerintah pusat. Akibatnya, sebagian besar hutan adat masih rentan terhadap konversi lahan. Data ini menunjukkan jurang besar antara potensi konservasi dan realita legalisasi kawasan adat.

Sebagian besar ekosistem Papua berada di bawah pengelolaan masyarakat adat yang menjaga keanekaragaman hayati endemik dan penyimpanan karbon. Riset menunjukkan kadar endemisme tumbuhan di pulau Papua mencapai 68 persen, menandakan kekayaan ekologis yang luar biasa dan unik. Kekayaan ekologis tersebut sangat bergantung pada kestabilan pengelolaan lokal oleh masyarakat adat yang berperan menjaga kelestarian alam.

Di tengah tekanan deforestasi, praktik kearifan lokal masyarakat adat muncul sebagai benteng alami. Mereka tidak hanya menjaga hutan sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai bagian dari identitas kosmologis. Hubungan religio-magis, misalnya penerapan sasi dan larangan mengambil hasil hutan tertentu, menjadi sarana efektif untuk konservasi yang tidak dimiliki oleh tata kelola modern.

Warga Adat Papua, melalui perspektif ekologi budaya, memandang wilayahnya bukan sekadar kawasan hijau yang lestari. Wilayah ini juga berfungsi sebagai laboratorium hidup konservasi berbasis masyarakat adat, dengan tutupan hutan lebat yang didukung oleh struktur sosial tradisional yang kokoh.

Warga Adat Papua: Melindungi Hutan Lewat Adat

Warga Adat Papua: Melindungi Hutan Lewat Adat pengelolaan hutan oleh masyarakat adat di Papua dilandasi tatacara adat yang bersifat turun‑temurun. Misalnya, komunitas Awyu menerapkan “hutan larang”—wilayah yang tidak boleh dieksploitasi demi menjaga keseimbangan ekologis dan spiritual, mencerminkan filosofi bahwa hutan adalah ‘ibu’ yang memelihara manusia. Larangan ini menjadi mekanisme alamiah yang mengendalikan tekanan manusia terhadap ekosistem.

Masyarakat Papua mengaitkan sumber pangan seperti pohon sagu dan ikan gabus dengan simbol religio-magis sebagai konsekuensi spiritual mereka. Totem dan tembang ritual digunakan dalam upacara pemanenan untuk menegaskan rasa hormat dan menjaga kelestarian alam sekitar. Upacara ini juga berfungsi menjaga batas-batas penggunaan sumber daya agar tetap berkelanjutan dan menghormati tradisi leluhur.

Beberapa wilayah mempraktikkan zonasi adat—bagian hutan ditetapkan untuk fungsi khusus: larangan total, produksi terbatas, kawasan suci, dan fungsi sosial. Analogi di Sulawesi melihat pengelompokan ini sebagai ‘hutan hujan’, ‘hutan sakral’, dan lain-lain , konsep yang juga digunakan di Papua untuk menjaga integritas ekosistem sambil tetap memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Sasi di Papua Selatan dan Merauke jadi contoh kuat bagaimana masyarakat bisa melindungi sumber daya alam secara terjadwal. Saat masa sasi berlaku, tidak ada pengambilan hasil hutan; zona hanya dibuka kembali lewat ritual tertentu. Pendekatan ini bukan sekadar aturan, tetapi ritual sosial dan kolaboratif yang menjaga harmoni antara manusia dan alam .

Semua praktik ini saling mendukung. Hutan larang menjaga luas tutupan; zonasi menjaga pluralitas fungsi; sasi menjamin restorasi; dan ritual memperkuat rasa memiliki—satu sistem alami yang holistik, terdesentralisasi, dan adaptif terhadap perubahan.

Pengakuan Pemerintah Dan Hukum Adat

Pengakuan Pemerintah Dan Hukum Adat dukungan pemerintah menjadi krusial agar kearifan lokal dapat dipertahankan dalam kerangka hukum formal. Di Papua Barat, melalui Perdasus No. 9 Tahun 2019, pemerintah menetapkan pedoman pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Selang beberapa bulan kemudian, Perdasus No. 10 Tahun 2019 meresmikan Provinsi Papua Barat sebagai “Provinsi Pembangunan Berkelanjutan” dan merumuskan kebijakan konservasi terintegrasi.

Namun formalitas hukum ternyata bukan jaminan pelaksanaan. Studi menunjukkan eksekusi Perdasus masih lemah karena minimnya sosialisasi, anggaran, dan partisipasi aktif masyarakat dalam proses perumusan dan implementasi . Situasi ini berpotensi menghambat legitimasi hukum adat di lapangan.

Proses legalisasi konsolidasi hukum yang panjang juga terjadi di kalangan pemda. Papua Barat semula mendeklarasikan diri sebagai “Provinsi Konservasi” pada 2015, namun kelembagaan tersebut mengalami vakum hingga 2017. Baru pada 2018–2019 stabil kembali menjadi “pembangunan berkelanjutan” dan dirumuskan lewat regulasi daerah yang resmi disahkan.

Langkah lokal diperkuat oleh jaringan aktor seperti pemerintah daerah, lembaga penelitian UNIPA, dan LSM seperti WWF, Conservation International, serta EcoNusa. Kolaborasi tersebut menghasilkan forum ICBE 2018 dan Deklarasi Manokwari yang memperkuat perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya. Inisiatif ini memicu pencabutan izin sawit seluas 340.000 hektare oleh tujuh bupati di Papua Barat demi kelestarian alam.

Dengan demikian, status hukum mulai diakui. Namun pembuktian adaptasi hukum adat di lapangan masih menjadi pekerjaan rumah: implikasi sosial-budaya, pelembagaan lokal, dan ketersediaan sumber daya masih perlu dioptimalkan.

Tantangan & Peluang Di Masa Depan

Tantangan & Peluang Di Masa Depan masyarakat adat Papua menghadapi konflik karena hanya 40.000 hektare lahan adat diakui dari potensi 9 juta hektare. Wilayah adat rentan diambil alih untuk sawit, tambang, dan infrastruktur yang merusak lingkungan. Di Sorong, PTUN menolak izin sawit besar, membuka peluang advokasi hukum masyarakat adat. Perlu jaringan hukum dan kelembagaan agar masyarakat dapat melindungi wilayah adat lewat jalur peradilan.

Selain itu, Kabupaten Tambrauw bahkan merumuskan Cagar Biosfer “Mahkota Permata Tanah Papua” sebagai kawasan strategis konservasi. Inisiatif ini membuka peluang edukasi, ekowisata, dan penguatan ekonomi lokal berbasis kelestarian, memperlihatkan bahwa konservasi dan pembangunan tidak hanya diparalelkan, tapi juga saling melengkapi.

Generasi muda adat Papua belajar kombinasi budaya dan modernisasi lewat program EcoNusa dan SAI untuk membangun kesadaran ekologis sejak dini. Model konservasi berbasis adat di Papua menarik perhatian global karena hutan tersebut menyimpan lebih dari 400 ton karbon per hektare. Legitimasi dan pengelolaan adat yang kuat memperkuat pelestarian keanekaragaman hayati dan membantu mitigasi perubahan iklim secara signifikan. Kearifan lokal warga adat Papua, melalui praktik tradisional dan pendidikan, menjadi fondasi utama menjaga kelestarian hutan tropis penting ekologis.

Namun tantangan tetap besar: defisit legalisasi kawasan adat, tekanan korporasi, lemahnya pelaksanaan Perdasus, dan kebutuhan kapasitas kelembagaan lokal harus diatasi melalui strategi holistik. Rekomendasi mencakup:

  • Percepatan legalisasi wilayah adat melalui Perda dan sertifikasi hutan adat.
  • Penguatan kelembagaan adat dengan fasilitasi anggaran, pelatihan, dan akses hukum.
  • Pemberdayaan generasi muda adat agar menjadi penjaga kebudayaan dan konservasi.
  • Konsolidasi multi-aktor dari pemerintah, akademisi, LSM, dan lembaga internasional untuk meningkatkan efektivitas.

Dengan strategi tersebut, Papua berpeluang menjadi model konservasi dunia yang memadukan harmonis antara adat, ekologi, dan inovasi sosial, menjadikan hutan adat sebagai tonggak harapan masa depan planet ini bagi Warga Adat Papua.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait